BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Pemasaran menarik perhatian yang
sangat besar baik dari perusahaan, lembaga maupun antar bangsa. Proses
pemasaran menjadi bagian penting dalam menawarkan barang dagangan kepada calon
pembeli. Apabila seorang pengusaha mempunyai manajemen pemasaran yang bagus,
maka usahanya akan cepat berkembang.
Keberhasilan
usaha suatu perusahaan ditentukan oleh keberhasilan pemasarannya. Pemasaran
merupakan suatu proses kegiatan yang mulai jauh sebelum barang-barang/
bahan-bahan masuk dalam proses produksi.[1]
Kiblat
perusahaan adalah para langganan dan semua fungsi bekerjasama untuk melayani
dan memuaskan konsumen. Akhirnya banyak ahli pemasaran mengatakan bahwa
pemasaran perlu diutamakan dalam perusahaan jika kebutuhan pelanggan dipuaskan
secara efisien.[2]
Pemasaran yang berhasil sudah tentu memiliki konsep yang baik pula, tidak ada
unsur penipuan maupun ketidakjujuran, biasanya pemasaran seperti ini
menggunakan konsep religius atau memasukkan unsur-unsur keagamaan, sehingga ada
kehati-hatian dalam memasarkannya. Maka dalam makalah ini akan dibahas
bagaimana pemasaran dalam Islam.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Pemasaran Syariah?
2. Bagaimana Manajemen Pemasaran Syariah?
3. Bagaimana Karakteristik Pemasaran Syariah?
4. Bagaimana Strategi Pemasaran Syariah?
5. Bagaimana Implementasi Syariat Pada Marketing Mix?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pemasaran Syariah
Pemasaran
yaitu suatu proses sosial yang di dalamnya berupa individu dan
kelompok untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan (need) dan inginkan
(want) dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan
produk dengan pihak lain.[3]
Pemasaran dalam islam adalah bentuk
muamalah yang dibenarkan dalam islam, sepanjang dalam segala proses
transaksinya terpelihara dari hal-hal terlarang oleh ketentuan syariah.
Sedangkan menurut Kertajaya dan Sula Syariah Marketing adalah sebuah disiplin bisnis
strategis yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran dan perubahan value
dari suatu inisiator kepada stakeholders-nya, yang dalam keseluruhan prosesnya
sesuai dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah (bisnis) dalam islam.[4]
Definisi ini di dasarkan pada salah satu
ketentuan dalam bisnis islam yang tertuang dalam kaidah fiqih yang mengatakan, “Al-muslimuna
‘ala syurutihim illa syarthan harrama halalan aw ahalla haraman” (kaum muslimin terikat dengan
kesepakaan-kesepakatan bisnis yang mereka buat, kecuali kesepakatan yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram).
2.2. Manajemen Marketing Syariah
Manajemen marketing syariah adalah
sebagai suatu ilmu memilih pasar sasaran dan mendapatkan, menjaga, dan
menumbuhkan pelanggan dengan menciptakan, menyerahkan dan mengkomunikasikan
nilai yang unggul kepada pelanggan dengan berorientasi pada ketentuan-ketentuan
syariah.[5]
Manajemen dalam organisasi bisnis (perusahaan) merupakan suatu proses aktivitas
penentuan dan pencapaian tujuan bisnis melalui pelaksanaan empat fungsi dasar,
yaitu POAC (Planning, organizing, actuating, dan controlling) dalam penggunaan sumber daya
organisasi. Oleh karena itu, aplikasi manajemen organisasi perusahaan
hakikatnya adalah juga amal perbuatan SDM organisasi perusahaan yang
bersangkutan. Dalam konteks di atas, islam menggariskan hakikat amal perbuatan
manusia harus berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
2.3. Karakteristik Pemasaran Syariah
Dalam Pemasaran
Islami (syariah marketing) ada 4 karakteristik yang dapat menjadi panduan bagi
para pemasar, sebagai berikut:
1.
Teistis (rabaniyyah)
Salah satu ciri
khas syariah marketing yang tidak dimiliki dalam pemasaran konvensional yang
dikenal selama ini adalah sifat yang religius (dinniyah). Kondisi ini tercipta
tidak karena keterpaksaan, tetapi berangkat dari kesadaran akan nilai-nilai
religius, yang dipandang penting dan mewarnai aktivitas pemasaran agar tidak
terperosok kedalam perbuatan yang dapat merugikan orang lain.
Jiwa seorang
syariah marketer menyakini bahwa hukum-hukum syariat yang teistis atau bersifat
ketuhanan ini adalah hukum yang paling sempurna. Jadi seorang pemasar syariah
memiliki orientasi maslahah, sehingga tidak hanya mencari keuntungan namun
diimbangi pula dengan keberkahan di dalamnya.
2.
Etis (akhlaqiyyah)
Syariah
marketing adalah konsep pemasaran yang sangat mengedepankan nilai-nilai moral
dan etika, tidak peduli apapun agamanya. Karena nilai etika adalah nilai yang
bersifat universal, yang diajarkan oleh semua agama.
Untuk mencapai
tujuan tersebut, Allah swt. memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya yang
meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik akidah, akhlak (moral,
etika), maupun syariah. Dua komponen pertama, akidah dan akhlak bersifat
konstan, keduanya tidak mengalami perubahan apapun dengan berbedanya waktu dan
tempat. Sedangkan syariah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf
peradaban manusia, yang berbeda-beda sesuai dengan rasulnya masing-masing.
3.
Realistis (al-waqi’iyyah)
Realistis
(Al-Waqi’iyyah) Syariah marketing bukanlah konsep yang eksklusif, fanatis,
anti-modernitas, dan kaku. Syariah marketing adalah konsep pemasaran yang
fleksibel, sebagaimana keluwesan syariah Islamiyah yang melandasinya.
Syariah
marketer bukanlah berarti para pemasar itu harus berpenampilan ala bangsa Arab
dan mengharamkan dasi karena dianggap merupakan simbol masyarakat barat.
Syariah marketer adalah para pemasar profesional dengan penampilan yang bersih,
rapi, dan bersahaja, apapun model atau gaya berpakaian yang dikenakannya.
Mereka bekerja dengan profesional dan mengedepankan nilai-nilai religius,
kesalehan, aspek moral, dan kejujuran dalam segala aktivitas pemasarannya.
4.
Humanistis (insaniyyah)
Humanistis
(Al-insaniyyah) adalah bahwa syariah diciptakan untuk manusia agar derajatnya
terangkat, sifat kemanusiaannya terjaga dan terpelihara, serta sifat-sifat
kehewanannya dapat terkekang dengan panduan syariah. Dengan memiliki nilai
humanistis ia menjadi manusia yang terkontrol, dan seimbang (tawazun), bukan
manusia yang serakah, yang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan
yang sebesar-besarnya. Bukan menjadi manusia yang bahagia diatas penderitaan
orang lain atau manusia yang kering dengan kepedulian sosial.
Syariat
Islam adalah syariah humanistis (insaniyyah). Syariat Islam diciptakan untuk
manusia sesuai dengan kapasitasnya tanpa menghiraukan ras, warna kulit,
kebangsaan, dan status. Hal inilah yang membuat syariah memiliki sifat
universal sehingga menjadi syariat humanistis universal.[6]
2.4. Strategi Pemasaran Syariah
Dalam
strategi marketing organisasi bisnis perlu merumuskan suatu manajemen strategi
untuk bisa mengidentifikasi kekuatan (strength) dan kekurangan (weaknes)
internal dan dibandingkan dengan peluang (opportunity) dan tantangan (threath)
external, sehingga organisasi tersebut dapat membuat dan memilih strategi apa
yang layak digunakan.
Menurut
Thorik Gunara dan Utus Hardiyono, strategi marketing syariah terbagi atas tiga
paradigma, yaitu:[7]
1.
Syariah Marketing Strategy untuk memenangkan mind-share
Strategi yang pertama adalah mengeksplorasi pasar yaitu melihat
besarnya ukuran pasar (market size), pertumbuhan pasar (market growth),
keunggulan kompetitif (competitive advantages) dan situasi persaingan
(competitive situation).
2.
Syariah Marketing Tactic untuk memenangkan market-share
Setelah menyusun strategi, kita harus menyusun taktik untuk
memenangkan market-share. Perusahaan harus membedakan diri dari perusahaan lain
yang sejenis. Untuk itu diperlukan differensiasi dalam segi content (apa
yang ditawarkan), context (bagaimana menawarkannya) dan infrastrukture
(yang mencakup karyawan, fasilitas dan teknologi). Kemudian menerapkan
differensiasi secara kreatif pada marketing mix. Karena itu marketing
mix disebut Creation tactic. Walaupun begitu selling juga harus
diperhatikan karena merupakan elemen penting yang berhubungan dengan kegiatan
transaksi dan langsung mampu menghasilkan pendapatan.
3.
Syariah Marketing Value untuk memenangkan Heart-share
Strategi dan taktik yang sudah dirancang dengan penuh perhitungan
tidaklah berjalan dengan baik bila tidak disertai dengan value dari produk atau
jasa yang ditawarkan. Pelanggan biasanya mementingkan manfaat atau value apa
yang di dapat jika ia diharuskan berkorban sekian rupiah. Untuk itu membangun
value prepotition bagi produk atau jasa sangat penting.
2.5. Implementasi Syariat Pada Marketing Mix
Marketing
mix atau bauran pemasaran adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan
perusahaan untuk terus-menerus mencapai tujuan pemasarannya pada pasar yang
menjadi sasaran. Implementasi syariat dapat diterapkan dalam variabel-variabel
marketing mix yakni Produc, price, place, promotion.
Berkaitan
dengan bauran pemasaran konvensional, maka penerapan dalam syariah akan merujuk
pada konsep dasar kaidah fiqih yakni “Al Ashlu filmuamalah al-ibahah illa
ayyadulla dalilun ‘ala tahrimiha” yang berarti bahwa pada dasarnya semua
bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang memengharamkannya.[8]
Berikut adalah marketing mix dalam perspektif syariah, yakni:
1.
Produk (produc)
Kotler dan Keller mendefinisikan produk sebagai segala sesuatu yang dapat
ditawarkan pada pasar untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan (2009: 358).
Namun, jika ditinjau dari perspektif syariah, Islam memiliki batasan tertentu
yang lebih spesifik mengenai definisi produk. Menurut Al Muslih (2004,
331-386), ada tiga hal yang perlu dipenuhi dalam menawarkan sebuah produk:
1.
produk yang ditawarkan memiliki kejelasan
barang, kejelasan ukuran/ takaran,
kejelasan komposisi, tidak rusak/ kadaluarsa dan menggunakan bahan yang
baik,
2.
produk yang diperjual-belikan adalah produk
yang halal
3.
dalam promosi maupun iklan tidak melakukan
kebohongan.
Pada
hadits
riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hambal, “Tidak dihalalkan bagi seorang muslim
menjual barang yang cacat, kecuali ia memberitahukannya,”. Pernyataan lebih
tegas disebutkan dalam Al Quran Surat Al Muthaffifiin (1-3) “Kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar
atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”.
Uraian diatas jelas mengatakan bahwa hukum menjual
produk cacat dan disembunyikan adalah haram. Artinya, produk meliputi barang dan jasa yang
ditawarkan pada calon pembeli haruslah yang berkualitas sesuai dengan yang
dijanjikan. Persyaratan mutlak yang juga harus ada dalam sebuah produk adalah
harus memenuhi kriteria halal.
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram",
untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung”. (An-Nahl: 116). Makanlah olehmu makanan yang
baik-baik (halal) dan kerjakan amal shalih. (Al-Mu’minuun: 51).
2.
Harga (Price)
Definisi harga menurut Kotler (1995) adalah Harga
adalah sejumlah uang yang dibebankan untuk sebuah produk atau jasa. Secara
lebih luas, harga adalah keseluruhan nilai yang ditukarkan konsumen untuk
mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap sebuah produk atau jasa.
Menurut Ferrel dan Hartline (2005: 181) price merupakan
isu kunci dari marketing mix. Karena harga digunakan untuk mengartikan
kualitas sebelum konsumen mendapatkan pengalaman membeli.
Kotler dan Keller (2009: 63) mengklasifikasikan harga
meliputi daftar harga diskon, periode pembayaran, dan syarat kredit. Menurut
Yusanto dan Widjajakusuma (2002: 170) terhadap pelanggan, harga akan disajikan
secara kompetitif. Senada dengan pendapat itu, Arifin (2009: 107) menjelaskan
bahwa harga harus benar-benar kompetitif, antara pebisnis satu dengan yang
lainnya. Islam sependapat dengan penentuan harga yang kompetitif.
Namun dalam menentukan harga tidak boleh menggunakan
cara-cara yang merugikan pebisnis lainnya. Islam tentu memperbolehkan pedagang
untuk mengambil keuntungan. Karena hakekat dari berdagang adalah untuk mencari
keuntungan. Namun, untuk mengambil keuntungan tersebut janganlah berlebih-lebihan
(Ghazali, 1983: 308). Karena, jika harga yang ditetapkan adalah harga wajar,
maka pedagang tersebut pasti akan unggul dalam kuantitas. Dengan kata lain,
mendapat banyak keuntungan dari banyaknya jumlah barang yang terjual, dan
tampak nyatalah keberkahan rizkinya (Ghazali, 1983: 309). Dalam proses penentuan harga, Islam juga
memandang bahwa harga haruslah disesuaikan dengan kondisi barang yang dijual.
Nabi Muhammad SAW pernah marah saat melihat seorang pedagang menyembunyikan
jagung basah di bawah jagung kering, kemudian si pedagang menjualnya dengan
harga tinggi (Ghazali, 1983: 298). Dalam sebuah hadits beliau mengatakan:
“Mengapa tidak engkau letakkan yang kebasahan itu
diatas bahan makanan itu, sehingga orang-orang dapat mengetahui keadaannya. Barang
siapa menipu, maka ia bukanlah masuk golongan kita” (HR. Muslim).
Hadits diatas mengindikasikan jika memang barang itu
bagus, maka wajar jika harganya mahal. Namun jika barang itu jelek kualitasnya,
sudah sewajarnya dijual dengan harga murah. Nabi Muhammad SAW mengajarkan
penetapan harga yang baik. Barang yang bagus dijual dengan harga bagus. Dan
barang dengan kualitas lebih rendah dijual dengan harga yang lebih rendah.
Tidak selayaknya barang yang jelek dijual dengan harga mahal.
Rasulullah SAW juga melarang perihal najasy (false
demand). Transaksi najasy diharamkan karena si penjual menyuruh
orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain
tertarik untuk membeli (Karim, 2007: 182). Padahal, si penawar sendiri tidak
bermaksud untuk benar-benar membeli barang tersebut. Ia hanya ingin menipu
orang lain yang benar-benar ingin membeli. Sebelumnya, orang ini telah
mengadakan kesepakatan dengan penjual untuk membeli dengan harga tinggi agar
ada pembeli yang sesungguhnya dengan harga yang tinggi pula dengan maksud untuk
ditipu. Akibatnya terjadi permintaan palsu atau false demand.
3.
Tempat/distribusi (Place)
Definisi menurut Kotler (1995) mengenai distribusi
adalah Berbagai kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk membuat produknya mudah
diperoleh dan tersedia untuk konsumen sasaran. Kotler dan Keller (2009: 63) mengatakan
distribusi meliputi jenis hubungan, perantara, penyimpanan, lokasi, dan
transportasi. Seorang pebisnis muslim tidak akan melakukan tindakan kedzaliman
terhadap pesaing lain, suap untuk melicinkan saluran pasarannya (Yusanto dan Widjajakusuma, 2002: 170). Dalam menentukan place atau
saluran distribusi, perusahaan Islami harus mengutamakan tempat-tempat yang
sesuai dengan target market, sehingga dapat efektif dan efisien. Sehingga pada
intinya, dalam menentukan marketing-mix harus didasari pada
prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran. Yusanto dan Widjajakusuma (2002: 21)
berpendapat perbedaan antara bisnis Islami dan non-Islami terletak pada aturan
halal dan haram, sehingga harus terdapat kehati-hatian dalam menjalankan
strategi.
Nabi Muhammad SAW melarang pemotongan jalur distribusi
dengan maksud agar harga naik. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “Rasulullah
SAW melarang penghadangan rukban serta melarang pula berlomba-lomba menaikkan
penawaran,” (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun arti menghadang (talaqi)
rukban, dalam hadits tersebut, ialah menghadang para penjual yang biasanya (di
negeri Arab) dengan berkendaraan membawa dagangan dari daerahnya masing-masing,
lalu meminta supaya barang dagangannya diturunkan disitu dan dibeli dengan
harga semurah-murahnya (Ghazali, 1983: 305). Sebab, si pembeli tersebut akan
memberikan berita bohong mengenai harga yang sebenarnya saat itu kepada
penjual-penjual yang dari daerah tadi, tujuan berdustanya itu adalah supaya
mendapatkan dagangan dengan harga semurah-murahnya.
Tujuan dari fungsi distribusi adalah mempercepat
sampainya barang di tangan konsumen atau pasar pada saat yang tepat. Kebijakan
distribusi setidaknya harus memenuhi tiga kriteria. Pertama, yaitu ketepatan
dan kecepatan waktu tiba di tangan konsumen. kedua, keamanan yang terjaga dari
kerusakan, dan yang ketiga sarana kompetisi dalam memberikan kecepatan dan
ketepatan memenuhi kebutuhan konsumen. Oleh karena itu, Islam melarang adanya
ikhtikar atau penimbunan (monopoly’s rent-seeking), sebab ikhtikar akan
menyebabkan berhentinya saluran distribusi yang mengakibatkan kelangkaan
sehingga harga barang tersebut akan meningkat (Karim, 2007: 153). Larangan
ikhtikar didasari hadits yang menyebutkan bahwa: “Tidaklah orang melakukan
ikhtikar itu kecuali ia berdosa”. (HR Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud).
4.
Promosi (Promotion)
Menurut Kotler (1995) yang dimaksud dengan promosi
adalah: sarana yang digunakan perusahaan dalam upaya untuk menginformasikan,
membujuk dan mengingatkan konsumen langsung atau tidak langsung- tentang produk
dan merek yang mereka jual (Kotler dan Keller, 2007: 204). Salah satu tujuan
promosi dalam periklanan adalah untuk memberitahukan atau mendidik konsumen
(Abdullah dan Ahmad, 2010). Tujuan promosi lain menurut Kotler dan Amstrong
(2004) adalah menginformasikan keadaan terkini kepada konsumen potensial
tentang keberadaan produk atau jasa, untuk mengajak konsumen merubah perilaku
mereka dalam percobaan produk atau pembelian, untuk mengembangkan sikap baik
terhadap produk, merek atau perusahaan dan untuk mengingatkan konsumen tentang
keunggulan produk.
Pemasar perlu mempertimbangkan beberapa faktor dalam
menciptakan dan mengantarkan pesan yang efektif (Haque et al: 2010).
Faktor-faktor ini meliputi, pembatasan tipe media yang digunakan, kemampuan
untuk mempromosikan produk-produk tertentu, citra periklanan, grup sosial dan
aturan pemerintah (Waller dan Fam: 2000). Setiap pesan yang disampaikan dalam
promosi akan menawarkan dua hal, yaitu alasan untuk membeli (melalui iklan) dan
insentif untuk membeli (melalui promosi penjualan). Dalam pemasaran
konvensional, promosi tidak bersinggungan secara langsung pada nilai-nilai
religius yang mengatur setiap proses dalam promosi sesuai dengan aturan-aturan
agama Islam. Semua pesan dalam periklanan yang mengikuti ajaran Islam akan menyebarkan
moral yang baik, seperti wanita dengan perilaku dan pakaian yang pantas, yang
mengasumsikan pesan tersebut berperan sebagai kontribusi positif untuk keluarga
dan masyarakat secara keseluruhan, melawan kebiasaan wanita sebagai objek
hasrat seksual. Pemasar atau produser periklanan di dunia muslim akan mendapat benefit
dengan meningkatkan dan memahami nilai-nilai muslim (Rice dan Al-Mossawi,
2002). Dengan demikian, calon pembeli muslim akan merasakan keterkaitan secara
emosional. Calon pembeli non-muslim pun mungkin akan merasa lebih yakin dengan
produk tersebut karena adanya nilai universal yang baik dan berlaku umum yang
dapat ditunjukkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin.
Al-Qur’an tidak melarang adanya periklanan dan memang
periklanan dapat digunakan untuk mempromosikan kebenaran Islam (Al-Makaty et
al, 1996). Namun, periklanan yang berisi tentang pernyataan-pernyataan yang dilebih-lebihkan
termasuk kedalam bentuk penipuan, tidak peduli apakah deskripsi pernyataan
tersebut sebagai metafor atau sebagai kiasan (Haque et al, 2010) tentu sudah
pasti dilarang. Hal ini tersirat dalam hadits-hadits berikut:
“Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan bersama
para nabi, orang-orang yang benar-benar tulus dan para syuhada (HR. Tarmidzi dan Ibnu Majah)”.
“Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang
yang bersikap baik ketika menjual, membeli, dan membuat suatu pernyataan
(HR. Bukhari)”.
“Sumpah palsu itu merusakkan dagangan dan melenyapkan
keberkahan pekerjaan (HR. Bukhari dan Muslim)”.
“Celakalah bagi seseorang pedagang yang suka
menyebutkan:..’ya, demi Allah’ atau ‘tidak, demi Allah’. Celaka pulalah bagi
seorang pekerja yang menunda-nunda kerjanya sampai besok atau besok lusa
(HR. Anas r.a)”.
Pemasaran dalam tinjauan syariah menyandarkan pedoman
etikanya pada nilai-nilai Islami yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits.
Promosi dalam tinjauan syariah harus sesuai dengan sharia compliance
yang merefleksikan kebenaran, keadilan dan kejujuran kepada masyarakat. Segala
informasi yang terkait dengan produk harus diberitahukan secara transparan dan
terbuka sehingga tidak ada potensi unsur penipuan dan kecurangan dalam
melakukan promosi. Promosi yang tidak sesuai dengan kualitas atau kompetensi,
contohnya promosi yang menampilkan imajinasi yang terlalu tinggi bagi
konsumennya, adalah termasuk dalam praktik penipuan dan kebohongan. Untuk itu promosi yang semacam tersebut
sangat dilarang dalam Islam (Kartajaya dan Sula, 2008: 178).
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemasaran yaitu suatu proses sosial yang di
dalamnya berupa individu dan kelompok untuk mendapatkan apa yang mereka
butuhkan (need) dan inginkan (want) dengan menciptakan,
menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dengan pihak lain.
Pemasaran dalam islam adalah bentuk muamalah yang
dibenarkan dalam islam, sepanjang dalam segala proses transaksinya terpelihara
dari hal-hal terlarang oleh ketentuan syariah
Manajemen marketing syariah adalah sebagai suatu
ilmu memilih pasar sasaran dan mendapatkan, menjaga, dan menumbuhkan pelanggan
dengan menciptakan, menyerahkan dan mengkomunikasikan nilai yang unggul kepada
pelanggan dengan berorientasi pada ketentuan-ketentuan syariah
Dalam
Pemasaran Islami (syariah marketing) ada 4 karakteristik yang dapat menjadi
panduan bagi para pemasar, sebagai berikut:
1.
Teistis (rabaniyyah)
2.
Etis (akhlaqiyyah)
3.
Realistis (al-waqi’iyyah)
4.
Humanistis (insaniyyah)
Strategi
marketing syariah terbagi atas tiga paradigma, yaitu:
1.
Syariah Marketing Strategy untuk memenangkan mind-share
2.
Syariah Marketing Tactic untuk memenangkan market-share
3.
Syariah Marketing Value untuk memenangkan Heart-share
Marketing mix atau bauran pemasaran adalah seperangkat alat
pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus-menerus mencapai tujuan
pemasarannya pada pasar yang menjadi sasaran. Implementasi syariat dapat
diterapkan dalam variabel-variabel marketing mix yakni Produc, price, place,
promotion.
DAFTAR
PUSTAKA
DidinHafinuddin & Hendri Tanjung, manajemen syariah dalam
praktek (Jakarta: Gema Insani, 2003)
Hermawan
Kertajaya, Muhammad Sakir Sula, Syariah Marketing.
M.Mursid, Manajemen Pemasaran,(Jakarta: Bumi Aksara,2003)
Nasution
Arman Hakim, Sudarso Indung, Trisurno Lantip,Manajemen Pemasaran untuk Engineering,(Yogyakarta:C.V ANDI
OFFSET,2006)
Sofjan Assauri,
Manajemen Pemasaran, Dasar,Konsep & Strategi,(Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004)
Thorik Gunara dan utus Hardiyono, Marketing Muhammad
(Bandung:Madnia Prima, 2002)
[1] Sofjan Assauri, Manajemen Pemasaran, Dasar,Konsep & Strategi,(Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada,2004), hal.3
[2] M.Mursid, Manajemen Pemasaran,(Jakarta: Bumi Aksara,2003),
hal.6
[3] Nasution Arman Hakim,
Sudarso Indung, Trisurno Lantip,Manajemen
Pemasaran untuk Engineering,(Yogyakarta:C.V ANDI OFFSET,2006), hal 1
[4] Hermawan Kertajaya, Muhammad Sakir Sula, Syariah Marketing.
Hlm. 09
[5] DidinHafinuddin & Hendri Tanjung, manajemen syariah dalam
praktek (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm. 10
[6] Hermawan Kertajaya, Muhammad Syakir Sula, opcit hlm 38
[7] Thorik Gunara dan utus Hardiyono, Marketing Muhammad (Bandung:Madnia
Prima, 2002) hlm. 93
[8] Kartajaya dan Sula, 2008 : 27