Pages

Sunday, May 7, 2017

Pemasaran dalam Islam

 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
              Pemasaran menarik perhatian yang sangat besar baik dari perusahaan, lembaga maupun antar bangsa. Proses pemasaran menjadi bagian penting dalam menawarkan barang dagangan kepada calon pembeli. Apabila seorang pengusaha mempunyai manajemen pemasaran yang bagus, maka usahanya akan cepat berkembang.
Keberhasilan usaha suatu perusahaan ditentukan oleh keberhasilan pemasarannya. Pemasaran merupakan suatu proses kegiatan yang mulai jauh sebelum barang-barang/ bahan-bahan masuk dalam proses produksi.[1]
Kiblat perusahaan adalah para langganan dan semua fungsi bekerjasama untuk melayani dan memuaskan konsumen. Akhirnya banyak ahli pemasaran mengatakan bahwa pemasaran perlu diutamakan dalam perusahaan jika kebutuhan pelanggan dipuaskan secara efisien.[2] Pemasaran yang berhasil sudah tentu memiliki konsep yang baik pula, tidak ada unsur penipuan maupun ketidakjujuran, biasanya pemasaran seperti ini menggunakan konsep religius atau memasukkan unsur-unsur keagamaan, sehingga ada kehati-hatian dalam memasarkannya. Maka dalam makalah ini akan dibahas bagaimana pemasaran dalam Islam.
1.2. Rumusan Masalah

       1.      Apa Pengertian Pemasaran Syariah?
       2.      Bagaimana Manajemen Pemasaran Syariah?
       3.      Bagaimana Karakteristik Pemasaran Syariah?
       4.      Bagaimana Strategi Pemasaran Syariah?
       5.      Bagaimana Implementasi Syariat Pada Marketing Mix?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pemasaran Syariah
Pemasaran yaitu suatu proses sosial yang di dalamnya berupa individu dan kelompok untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan (need) dan inginkan (want) dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dengan pihak lain.[3]
Pemasaran dalam islam adalah bentuk muamalah yang dibenarkan dalam islam, sepanjang dalam segala proses transaksinya terpelihara dari hal-hal terlarang oleh ketentuan syariah. Sedangkan menurut Kertajaya dan Sula Syariah Marketing adalah sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran dan perubahan value dari suatu inisiator kepada stakeholders-nya, yang dalam keseluruhan prosesnya sesuai dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah (bisnis) dalam islam.[4] Definisi ini di dasarkan  pada salah satu ketentuan dalam bisnis islam yang tertuang dalam kaidah fiqih yang mengatakan, “Al-muslimuna ‘ala syurutihim illa syarthan harrama halalan aw ahalla haraman” (kaum muslimin terikat dengan kesepakaan-kesepakatan bisnis yang mereka buat, kecuali kesepakatan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram).

2.2.  Manajemen Marketing Syariah
Manajemen marketing syariah adalah sebagai suatu ilmu memilih pasar sasaran dan mendapatkan, menjaga, dan menumbuhkan pelanggan dengan menciptakan, menyerahkan dan mengkomunikasikan nilai yang unggul kepada pelanggan dengan berorientasi pada ketentuan-ketentuan syariah.[5] Manajemen dalam organisasi bisnis (perusahaan) merupakan suatu proses aktivitas penentuan dan pencapaian tujuan bisnis melalui pelaksanaan empat fungsi dasar, yaitu POAC (Planning, organizing, actuating, dan controlling) dalam penggunaan sumber daya organisasi. Oleh karena itu, aplikasi manajemen organisasi perusahaan hakikatnya adalah juga amal perbuatan SDM organisasi perusahaan yang bersangkutan. Dalam konteks di atas, islam menggariskan hakikat amal perbuatan manusia harus berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
2.3. Karakteristik Pemasaran Syariah
Dalam Pemasaran Islami (syariah marketing) ada 4 karakteristik yang dapat menjadi panduan bagi para pemasar, sebagai berikut:
1.         Teistis (rabaniyyah)
Salah satu ciri khas syariah marketing yang tidak dimiliki dalam pemasaran konvensional yang dikenal selama ini adalah sifat yang religius (dinniyah). Kondisi ini tercipta tidak karena keterpaksaan, tetapi berangkat dari kesadaran akan nilai-nilai religius, yang dipandang penting dan mewarnai aktivitas pemasaran agar tidak terperosok kedalam perbuatan yang dapat merugikan orang lain.
Jiwa seorang syariah marketer menyakini bahwa hukum-hukum syariat yang teistis atau bersifat ketuhanan ini adalah hukum yang paling sempurna. Jadi seorang pemasar syariah memiliki orientasi maslahah, sehingga tidak hanya mencari keuntungan namun diimbangi pula dengan keberkahan di dalamnya.
2.         Etis (akhlaqiyyah)
Syariah marketing adalah konsep pemasaran yang sangat mengedepankan nilai-nilai moral dan etika, tidak peduli apapun agamanya. Karena nilai etika adalah nilai yang bersifat universal, yang diajarkan oleh semua agama.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Allah swt. memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya yang meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik akidah, akhlak (moral, etika), maupun syariah. Dua komponen pertama, akidah dan akhlak bersifat konstan, keduanya tidak mengalami perubahan apapun dengan berbedanya waktu dan tempat. Sedangkan syariah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban manusia, yang berbeda-beda sesuai dengan rasulnya masing-masing.
3.         Realistis (al-waqi’iyyah)
Realistis (Al-Waqi’iyyah) Syariah marketing bukanlah konsep yang eksklusif, fanatis, anti-modernitas, dan kaku. Syariah marketing adalah konsep pemasaran yang fleksibel, sebagaimana keluwesan syariah Islamiyah yang melandasinya.
Syariah marketer bukanlah berarti para pemasar itu harus berpenampilan ala bangsa Arab dan mengharamkan dasi karena dianggap merupakan simbol masyarakat barat. Syariah marketer adalah para pemasar profesional dengan penampilan yang bersih, rapi, dan bersahaja, apapun model atau gaya berpakaian yang dikenakannya. Mereka bekerja dengan profesional dan mengedepankan nilai-nilai religius, kesalehan, aspek moral, dan kejujuran dalam segala aktivitas pemasarannya.
4.         Humanistis (insaniyyah)
Humanistis (Al-insaniyyah) adalah bahwa syariah diciptakan untuk manusia agar derajatnya terangkat, sifat kemanusiaannya terjaga dan terpelihara, serta sifat-sifat kehewanannya dapat terkekang dengan panduan syariah. Dengan memiliki nilai humanistis ia menjadi manusia yang terkontrol, dan seimbang (tawazun), bukan manusia yang serakah, yang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Bukan menjadi manusia yang bahagia diatas penderitaan orang lain atau manusia yang kering dengan kepedulian sosial.
Syariat Islam adalah syariah humanistis (insaniyyah). Syariat Islam diciptakan untuk manusia sesuai dengan kapasitasnya tanpa menghiraukan ras, warna kulit, kebangsaan, dan status. Hal inilah yang membuat syariah memiliki sifat universal sehingga menjadi syariat humanistis universal.[6]

2.4. Strategi Pemasaran Syariah
Dalam strategi marketing organisasi bisnis perlu merumuskan suatu manajemen strategi untuk bisa mengidentifikasi kekuatan (strength) dan kekurangan (weaknes) internal dan dibandingkan dengan peluang (opportunity) dan tantangan (threath) external, sehingga organisasi tersebut dapat membuat dan memilih strategi apa yang layak digunakan.
Menurut Thorik Gunara dan Utus Hardiyono, strategi marketing syariah terbagi atas tiga paradigma, yaitu:[7]
1.    Syariah Marketing Strategy untuk memenangkan  mind-share
Strategi yang pertama adalah mengeksplorasi pasar yaitu melihat besarnya ukuran pasar (market size), pertumbuhan pasar (market growth), keunggulan kompetitif (competitive advantages) dan situasi persaingan (competitive situation).
2.    Syariah Marketing Tactic untuk memenangkan market-share
Setelah menyusun strategi, kita harus menyusun taktik untuk memenangkan market-share. Perusahaan harus membedakan diri dari perusahaan lain yang sejenis. Untuk itu diperlukan differensiasi dalam segi content (apa yang ditawarkan), context (bagaimana menawarkannya) dan infrastrukture (yang mencakup karyawan, fasilitas dan teknologi). Kemudian menerapkan differensiasi secara kreatif pada marketing mix. Karena itu marketing mix disebut Creation tactic. Walaupun begitu selling juga harus diperhatikan karena merupakan elemen penting yang berhubungan dengan kegiatan transaksi dan langsung mampu menghasilkan pendapatan.

3.    Syariah Marketing Value untuk memenangkan Heart-share
Strategi dan taktik yang sudah dirancang dengan penuh perhitungan tidaklah berjalan dengan baik bila tidak disertai dengan value dari produk atau jasa yang ditawarkan. Pelanggan biasanya mementingkan manfaat atau value apa yang di dapat jika ia diharuskan berkorban sekian rupiah. Untuk itu membangun value prepotition bagi produk atau jasa sangat penting.

2.5. Implementasi Syariat Pada Marketing Mix
Marketing mix atau bauran pemasaran adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus-menerus mencapai tujuan pemasarannya pada pasar yang menjadi sasaran. Implementasi syariat dapat diterapkan dalam variabel-variabel marketing mix yakni Produc, price, place, promotion.
Berkaitan dengan bauran pemasaran konvensional, maka penerapan dalam syariah akan merujuk pada konsep dasar kaidah fiqih yakni “Al Ashlu filmuamalah al-ibahah illa ayyadulla dalilun ‘ala tahrimiha” yang berarti bahwa pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang memengharamkannya.[8] Berikut adalah marketing mix dalam perspektif syariah, yakni:
1.      Produk (produc)
Kotler dan Keller mendefinisikan produk sebagai segala sesuatu yang dapat ditawarkan pada pasar untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan (2009: 358). Namun, jika ditinjau dari perspektif syariah, Islam memiliki batasan tertentu yang lebih spesifik mengenai definisi produk. Menurut Al Muslih (2004, 331-386), ada tiga hal yang perlu dipenuhi dalam menawarkan sebuah produk:
1.         produk yang ditawarkan memiliki kejelasan barang, kejelasan ukuran/ takaran,  kejelasan komposisi, tidak rusak/ kadaluarsa dan menggunakan bahan yang baik,
2.         produk yang diperjual-belikan adalah produk yang halal
3.         dalam promosi maupun iklan tidak melakukan kebohongan.
Pada  hadits riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hambal, “Tidak dihalalkan bagi seorang muslim menjual barang yang cacat, kecuali ia memberitahukannya,”. Pernyataan lebih tegas disebutkan dalam Al Quran Surat Al Muthaffifiin (1-3) “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”.
Uraian diatas jelas mengatakan bahwa hukum menjual produk cacat dan disembunyikan adalah haram. Artinya, produk meliputi barang dan jasa yang ditawarkan pada calon pembeli haruslah yang berkualitas sesuai dengan yang dijanjikan. Persyaratan mutlak yang juga harus ada dalam sebuah produk adalah harus memenuhi kriteria halal.
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung”. (An-Nahl: 116). Makanlah olehmu makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakan amal shalih. (Al-Mu’minuun: 51).
2.    Harga (Price)
Definisi harga menurut Kotler (1995) adalah Harga adalah sejumlah uang yang dibebankan untuk sebuah produk atau jasa. Secara lebih luas, harga adalah keseluruhan nilai yang ditukarkan konsumen untuk mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap sebuah produk atau jasa.
Menurut Ferrel dan Hartline (2005: 181) price merupakan isu kunci dari marketing mix. Karena harga digunakan untuk mengartikan kualitas sebelum konsumen mendapatkan pengalaman membeli.
Kotler dan Keller (2009: 63) mengklasifikasikan harga meliputi daftar harga diskon, periode pembayaran, dan syarat kredit. Menurut Yusanto dan Widjajakusuma (2002: 170) terhadap pelanggan, harga akan disajikan secara kompetitif. Senada dengan pendapat itu, Arifin (2009: 107) menjelaskan bahwa harga harus benar-benar kompetitif, antara pebisnis satu dengan yang lainnya. Islam sependapat dengan penentuan harga yang kompetitif.
Namun dalam menentukan harga tidak boleh menggunakan cara-cara yang merugikan pebisnis lainnya. Islam tentu memperbolehkan pedagang untuk mengambil keuntungan. Karena hakekat dari berdagang adalah untuk mencari keuntungan. Namun, untuk mengambil keuntungan tersebut janganlah berlebih-lebihan (Ghazali, 1983: 308). Karena, jika harga yang ditetapkan adalah harga wajar, maka pedagang tersebut pasti akan unggul dalam kuantitas. Dengan kata lain, mendapat banyak keuntungan dari banyaknya jumlah barang yang terjual, dan tampak nyatalah keberkahan rizkinya (Ghazali, 1983: 309). Dalam proses penentuan harga, Islam juga memandang bahwa harga haruslah disesuaikan dengan kondisi barang yang dijual. Nabi Muhammad SAW pernah marah saat melihat seorang pedagang menyembunyikan jagung basah di bawah jagung kering, kemudian si pedagang menjualnya dengan harga tinggi (Ghazali, 1983: 298). Dalam sebuah hadits beliau mengatakan:
“Mengapa tidak engkau letakkan yang kebasahan itu diatas bahan makanan itu, sehingga orang-orang dapat mengetahui keadaannya. Barang siapa menipu, maka ia bukanlah masuk golongan kita” (HR. Muslim). 

Hadits diatas mengindikasikan jika memang barang itu bagus, maka wajar jika harganya mahal. Namun jika barang itu jelek kualitasnya, sudah sewajarnya dijual dengan harga murah. Nabi Muhammad SAW mengajarkan penetapan harga yang baik. Barang yang bagus dijual dengan harga bagus. Dan barang dengan kualitas lebih rendah dijual dengan harga yang lebih rendah. Tidak selayaknya barang yang jelek dijual dengan harga mahal.
Rasulullah SAW juga melarang perihal najasy (false demand). Transaksi najasy diharamkan karena si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik untuk membeli (Karim, 2007: 182). Padahal, si penawar sendiri tidak bermaksud untuk benar-benar membeli barang tersebut. Ia hanya ingin menipu orang lain yang benar-benar ingin membeli. Sebelumnya, orang ini telah mengadakan kesepakatan dengan penjual untuk membeli dengan harga tinggi agar ada pembeli yang sesungguhnya dengan harga yang tinggi pula dengan maksud untuk ditipu. Akibatnya terjadi permintaan palsu atau false demand.
3.    Tempat/distribusi (Place)
Definisi menurut Kotler (1995) mengenai distribusi adalah Berbagai kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk membuat produknya mudah diperoleh dan tersedia untuk konsumen sasaran. Kotler dan Keller (2009: 63) mengatakan distribusi meliputi jenis hubungan, perantara, penyimpanan, lokasi, dan transportasi. Seorang pebisnis muslim tidak akan melakukan tindakan kedzaliman terhadap pesaing lain, suap untuk melicinkan saluran pasarannya (Yusanto dan Widjajakusuma, 2002: 170). Dalam menentukan place atau saluran distribusi, perusahaan Islami harus mengutamakan tempat-tempat yang sesuai dengan target market, sehingga dapat efektif dan efisien. Sehingga pada intinya, dalam menentukan marketing-mix harus didasari pada prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran. Yusanto dan Widjajakusuma (2002: 21) berpendapat perbedaan antara bisnis Islami dan non-Islami terletak pada aturan halal dan haram, sehingga harus terdapat kehati-hatian dalam menjalankan strategi.
Nabi Muhammad SAW melarang pemotongan jalur distribusi dengan maksud agar harga naik. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “Rasulullah SAW melarang penghadangan rukban serta melarang pula berlomba-lomba menaikkan penawaran,” (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun arti menghadang (talaqi) rukban, dalam hadits tersebut, ialah menghadang para penjual yang biasanya (di negeri Arab) dengan berkendaraan membawa dagangan dari daerahnya masing-masing, lalu meminta supaya barang dagangannya diturunkan disitu dan dibeli dengan harga semurah-murahnya (Ghazali, 1983: 305). Sebab, si pembeli tersebut akan memberikan berita bohong mengenai harga yang sebenarnya saat itu kepada penjual-penjual yang dari daerah tadi, tujuan berdustanya itu adalah supaya mendapatkan dagangan dengan harga semurah-murahnya.
Tujuan dari fungsi distribusi adalah mempercepat sampainya barang di tangan konsumen atau pasar pada saat yang tepat. Kebijakan distribusi setidaknya harus memenuhi tiga kriteria. Pertama, yaitu ketepatan dan kecepatan waktu tiba di tangan konsumen. kedua, keamanan yang terjaga dari kerusakan, dan yang ketiga sarana kompetisi dalam memberikan kecepatan dan ketepatan memenuhi kebutuhan konsumen. Oleh karena itu, Islam melarang adanya ikhtikar atau penimbunan (monopoly’s rent-seeking), sebab ikhtikar akan menyebabkan berhentinya saluran distribusi yang mengakibatkan kelangkaan sehingga harga barang tersebut akan meningkat (Karim, 2007: 153). Larangan ikhtikar didasari hadits yang menyebutkan bahwa: “Tidaklah orang melakukan ikhtikar itu kecuali ia berdosa”. (HR Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud).


4.    Promosi (Promotion)
Menurut Kotler (1995) yang dimaksud dengan promosi adalah: sarana yang digunakan perusahaan dalam upaya untuk menginformasikan, membujuk dan mengingatkan konsumen langsung atau tidak langsung- tentang produk dan merek yang mereka jual (Kotler dan Keller, 2007: 204). Salah satu tujuan promosi dalam periklanan adalah untuk memberitahukan atau mendidik konsumen (Abdullah dan Ahmad, 2010). Tujuan promosi lain menurut Kotler dan Amstrong (2004) adalah menginformasikan keadaan terkini kepada konsumen potensial tentang keberadaan produk atau jasa, untuk mengajak konsumen merubah perilaku mereka dalam percobaan produk atau pembelian, untuk mengembangkan sikap baik terhadap produk, merek atau perusahaan dan untuk mengingatkan konsumen tentang keunggulan produk.
Pemasar perlu mempertimbangkan beberapa faktor dalam menciptakan dan mengantarkan pesan yang efektif (Haque et al: 2010). Faktor-faktor ini meliputi, pembatasan tipe media yang digunakan, kemampuan untuk mempromosikan produk-produk tertentu, citra periklanan, grup sosial dan aturan pemerintah (Waller dan Fam: 2000). Setiap pesan yang disampaikan dalam promosi akan menawarkan dua hal, yaitu alasan untuk membeli (melalui iklan) dan insentif untuk membeli (melalui promosi penjualan). Dalam pemasaran konvensional, promosi tidak bersinggungan secara langsung pada nilai-nilai religius yang mengatur setiap proses dalam promosi sesuai dengan aturan-aturan agama Islam. Semua pesan dalam periklanan yang mengikuti ajaran Islam akan menyebarkan moral yang baik, seperti wanita dengan perilaku dan pakaian yang pantas, yang mengasumsikan pesan tersebut berperan sebagai kontribusi positif untuk keluarga dan masyarakat secara keseluruhan, melawan kebiasaan wanita sebagai objek hasrat seksual. Pemasar atau produser periklanan di dunia muslim akan mendapat benefit dengan meningkatkan dan memahami nilai-nilai muslim (Rice dan Al-Mossawi, 2002). Dengan demikian, calon pembeli muslim akan merasakan keterkaitan secara emosional. Calon pembeli non-muslim pun mungkin akan merasa lebih yakin dengan produk tersebut karena adanya nilai universal yang baik dan berlaku umum yang dapat ditunjukkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin.
Al-Qur’an tidak melarang adanya periklanan dan memang periklanan dapat digunakan untuk mempromosikan kebenaran Islam (Al-Makaty et al, 1996). Namun, periklanan yang berisi tentang pernyataan-pernyataan yang dilebih-lebihkan termasuk kedalam bentuk penipuan, tidak peduli apakah deskripsi pernyataan tersebut sebagai metafor atau sebagai kiasan (Haque et al, 2010) tentu sudah pasti dilarang. Hal ini tersirat dalam hadits-hadits berikut:
“Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan bersama para nabi, orang-orang yang benar-benar tulus dan para syuhada (HR. Tarmidzi dan Ibnu Majah)”.
Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang yang bersikap baik ketika menjual, membeli, dan membuat suatu pernyataan (HR. Bukhari)”.
Sumpah palsu itu merusakkan dagangan dan melenyapkan keberkahan pekerjaan (HR. Bukhari dan Muslim)”.
Celakalah bagi seseorang pedagang yang suka menyebutkan:..’ya, demi Allah’ atau ‘tidak, demi Allah’. Celaka pulalah bagi seorang pekerja yang menunda-nunda kerjanya sampai besok atau besok lusa (HR. Anas r.a)”.
Pemasaran dalam tinjauan syariah menyandarkan pedoman etikanya pada nilai-nilai Islami yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits. Promosi dalam tinjauan syariah harus sesuai dengan sharia compliance yang merefleksikan kebenaran, keadilan dan kejujuran kepada masyarakat. Segala informasi yang terkait dengan produk harus diberitahukan secara transparan dan terbuka sehingga tidak ada potensi unsur penipuan dan kecurangan dalam melakukan promosi. Promosi yang tidak sesuai dengan kualitas atau kompetensi, contohnya promosi yang menampilkan imajinasi yang terlalu tinggi bagi konsumennya, adalah termasuk dalam praktik penipuan dan kebohongan. Untuk itu promosi yang semacam tersebut sangat dilarang dalam Islam (Kartajaya dan Sula, 2008: 178).


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pemasaran yaitu suatu proses sosial yang di dalamnya berupa individu dan kelompok untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan (need) dan inginkan (want) dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dengan pihak lain.
Pemasaran dalam islam adalah bentuk muamalah yang dibenarkan dalam islam, sepanjang dalam segala proses transaksinya terpelihara dari hal-hal terlarang oleh ketentuan syariah
Manajemen marketing syariah adalah sebagai suatu ilmu memilih pasar sasaran dan mendapatkan, menjaga, dan menumbuhkan pelanggan dengan menciptakan, menyerahkan dan mengkomunikasikan nilai yang unggul kepada pelanggan dengan berorientasi pada ketentuan-ketentuan syariah
Dalam Pemasaran Islami (syariah marketing) ada 4 karakteristik yang dapat menjadi panduan bagi para pemasar, sebagai berikut:
1.    Teistis (rabaniyyah)
2.    Etis (akhlaqiyyah)
3.    Realistis (al-waqi’iyyah)
4.    Humanistis (insaniyyah)
Strategi marketing syariah terbagi atas tiga paradigma, yaitu:
1.    Syariah Marketing Strategy untuk memenangkan  mind-share
2.    Syariah Marketing Tactic untuk memenangkan market-share
3.    Syariah Marketing Value untuk memenangkan Heart-share
Marketing mix atau bauran pemasaran adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus-menerus mencapai tujuan pemasarannya pada pasar yang menjadi sasaran. Implementasi syariat dapat diterapkan dalam variabel-variabel marketing mix yakni Produc, price, place, promotion.



DAFTAR PUSTAKA

DidinHafinuddin & Hendri Tanjung, manajemen syariah dalam praktek (Jakarta: Gema Insani, 2003)
Hermawan Kertajaya, Muhammad Sakir Sula, Syariah Marketing.
M.Mursid, Manajemen Pemasaran,(Jakarta: Bumi Aksara,2003)
Nasution Arman Hakim, Sudarso Indung, Trisurno Lantip,Manajemen Pemasaran untuk Engineering,(Yogyakarta:C.V ANDI OFFSET,2006)
Sofjan Assauri, Manajemen Pemasaran, Dasar,Konsep & Strategi,(Jakarta: PT. Raja Grafindo  Persada, 2004)
Thorik Gunara dan utus Hardiyono, Marketing Muhammad (Bandung:Madnia Prima, 2002)


[1] Sofjan Assauri, Manajemen Pemasaran, Dasar,Konsep & Strategi,(Jakarta: PT. Raja Grafindo  Persada,2004), hal.3
[2] M.Mursid, Manajemen Pemasaran,(Jakarta: Bumi Aksara,2003), hal.6
[3] Nasution Arman Hakim, Sudarso Indung, Trisurno Lantip,Manajemen Pemasaran untuk Engineering,(Yogyakarta:C.V ANDI OFFSET,2006), hal 1
[4] Hermawan Kertajaya, Muhammad Sakir Sula, Syariah Marketing. Hlm. 09
[5] DidinHafinuddin & Hendri Tanjung, manajemen syariah dalam praktek (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm. 10
[6] Hermawan Kertajaya, Muhammad Syakir Sula, opcit hlm 38
[7] Thorik Gunara dan utus Hardiyono, Marketing Muhammad (Bandung:Madnia Prima, 2002) hlm. 93
[8] Kartajaya dan Sula, 2008 : 27