Pages

Monday, April 17, 2017

Makalah Qowaid Fiqhiyah KAIDAH-KAIDAH YANG DISEPAKATI KAIDAH KE 31 - 40





BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah.
Berhubung hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya, adalah perlu sekali.[1]
Maka dari itu, disini akan dibahas beberapa kaidah fiqhiyyah. Mulai dari kaidah ke-31 sampai kaidah ke-40.

B.       Rumusan Masalah
Bagaimana kaidah ke 31 - 40 yang disepakati itu?





BAB II
PEMBAHASAN

1.        Kaidah ke 31
النفل اوسع من الفرض
“Sunnah lebih longgar dari pada fardhu”[2]
Atas dasar itulah :
1.      Seorang yang telah berijtihad menemukan kiblat untuk sembahyang wajib, tidak perlu berijihad kembali jika hendak bersembahyang sunnah.
2.      Seorang bertayamum untuk menjalankan shalat wajib, tidak perlu lagi bertayamum untuk menjalankan salat sunnat rawatib berikutnya.
3.      Tidak wajib bagi orang yang berpuasa sunnat, niat di malam hari sebelumnya.

2.        Kaidah ke 32
الو لا ية الخا صة اقوى من الولا يةالعا مة
“wilayah yang khusus lebih kuat dari pada wilayah yang umum”
Sesuai dengan kaidah ini, maka :
1.      Seorang wali hakim tidak boleh mengawinkan seorang wanita yang masih mempunyai wali
2.      Seorang wali dapat menuntut qishash atau diyat atau memberikan pengampunan sama sekali terhadap orang yang melakukan tindak makar pembunuhan terhadap orang yang berada dibawah perwaliannya, tetapi wali hakim yang statusnya sebagai wali umum tidak dapat menuntut hak-hak tersebut.
3.      Jika seorang wanita dikawinkan dengan seorang laki-laki dengan menggunakan wali hakim, disebabkan wali yang sebenarnya mafqud (bepergian tidak diketahui domisilinya) kemudian wali yang mafqud tersebut dengan secara perwakilan mengawinkan seorang wanita yang berada di bawah perwaliannya dengan orang laki-laki lain lagi. Dan wali tersebut diwaktu pulang dapat menunjukkan bukti buktinya, maka yang harus dibenarkan adalah perkawinan yang dilakukan oleh wali yang sebenarnya.

3.        Kaidah ke 33
لاعبرة باالظن البين خطؤه
“tidak dianggap sebagai dzan yang jelas salahnya”[3]
Misalnya :
1.      Jika seseorang mengira dirinya suci dari hadats, kemudian ia terus shalat, tetapi dugaannya tadi salah (ia sebenarnya sudah berhadats) maka shalat tersebut tidak sah.
2.      Seorang melakukan shalat dan mengira sudah masuk waktu shalat tersebut, tetapi ternyata praduganya tadi salah (ternyata belum waktunya) maka shalatnya batal.
3.      Seseorang menyangka bahwa dirinya mempunyai hutang kepada seseorang, karenanya dibayarlah hutang itu. Tetapi ternyata bahwa sudah tidak mempunyai hutang, maka ia berhak menerima kembali uang yang pernah dibayarkannya.

4.        Kaidah ke 34
الا شتغال بغيرالمقصود اعراض عن المقصود
“Berbuat yang tidak dituju sama artinya berpaling dari tujuan”[4]
Jika ada orang yang bersumpah tidak akan tinggal di rumah itu dan berdiam di sana, namun orang tersebut masih mondar mandir dirumah tersebut, maka orang tersebut dihukumi melanggar sumpah.

5.        Kaidah ke 35
لاينكرالمختلف فيه رانما ينكر المجمع عليه
“persoalan yang masih diperselisihkan tidak diingkari, sedangkan perkara yang mujmak alaihi (disepakati keharamannya) harus diingkari”
Jadi jika ada perkara yang sudah mujmak alaihi (disepakati keharamannya) maka kita wajib mengingkari dalam hati.
Contoh :
Meminum minuman keras, zina dan lain-lain namun masih ada sejumlah masalah yang dikecualikan (masih dalam perselisihan tapi harus diingkari)
a.       Mayoritas ulama’ sudah sepakat dalam memutuskan hukum sesuatu. Namun ada sebagian ulama lagi yang berbeda pendapat, perbedaan pendapat tersebut terhitung jauh, sehingga seandainya qaul mukhtalaf tadi digunakan, oleh hakim untuk memutuskan masalah maka keputusan yang diambil oleh hakim boleh digugurkan. Seperti menggadaikan anak untuk dikumpuli hukumnya tetap haram. Dan orang yang menggadaikan bisa terkena had meskipun imam atha’ mengatakan boleh perempuan jariyah (budak perempuan) digadaikan untuk diwati.
b.      Masalah yang sudah berada di pengadilan sudah pasti putusannya diserahkan kepada hakim menurut keyakinananya. Namun tidak boleh menyimpang dari keyakinan hakim itu sendiri. Jadi seandainya hakim dari golongan Syafi’i sementara yang diadili dari golongan Hanafi tentang minum nabits (anggur kering) maka hakim Syafi’i harus memberi hukuman kepada orang Hanafiyah yang minum nabits meskipun imam hanafi membolehkan minum nabits.
c.       Masalah yang mukhtalaf dan munkar itu masih mempunyai hak.

6.        Kaidah ke 36
يدخل القوي على الضعيف ولاعكس
“yang kuat bisa saja masuk ke dloif (lemah) bukan sebaliknya”[5]
Contoh:
       Hukum Rasyid menyetubuhi Fatimah boleh karena amat (budak perempuan). Kemudian Rasyid menikah dengan saudara perempuan Fatimah, maka hukum Fatimah terhadap Rasyid menjadi haram disetubuhi. Karena hubungan Rasyid dengan saudaranya lebih kuat jadi Rasyid haram bersetubuh denga fatimah (amat).
       Ada beberapa masalah yang dikecualikan dari kaidah ini yaitu seandainya Khalid sudah niat puasa sunah kemudian ditengah tengah hari Khalid niat puasa fardlu (qadla) maka hukumnya tidak sah meskipun puasa fardlu lebih kuat dari puasa sunah.

7.        Kaidah ke 37
يُغْتَفَرُ فِى الْوَسَائِلِ مَالاَيُغْتَفَرُ فىِ الْمَقَاصِدِ
“suatu perkara ketika menjadi tujuan tidak diampuni namun ketika menjadi wasail (perantara) bisa diampuni.”[6]
Contoh :
Melukai diri sendiri it tidak boleh, namun bila melukai diri sendiri sebagai lantaran berobat seperti suntik dan operasi maka hukumnya boleh.

8.        Kaidah ke 38
اَلْمَيْسُوْرُ لاَيَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
“Yang mudah tidak bisa gugur karena yang sulit”[7]
Contoh :
a.       Orang yang mempunyai satu tangan hanya wajib membasuh satu tangannya saja saat melakukan wudhu.
b.      Seseorang yang mempunyai hutang Rp. 1.000,00 dan ia berjanji akan membayar pada tanngal 1 november, namun pada tanggal 1 november ia hanya mempunyai uang Rp. 500,00 maka uang Rp 500,00 tersebutlah yang wajib dibayarkan, bukan malah tidak dibayarkan sama sekali.

9.        Kaidah ke 39
مَالاَيَقْبَلُ التَبْعِيْضَ فَاخْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِهِ وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِسْقَاطِ كُلِهِ
“sesuatu yang tidak bisa dibagi bagi, maka memilih sebagian, sama artinya memilih keseluruhan. Menggugurkan sebagian sama artinya menggugurkan keseluruhan”
Contoh :
Saya mentalaq kamu separuh, maka talaq ini jatuh talaq satu karena talaq itu tidak bisa dibagi.

10.    Kaidah ke 40
إِذَااجْتَمَعَ السَبَبُ أَوِالْغُرُوْرُ وَالْمُبَاشَرَةُ قُدِمَتِ الْمُبَاشَرَةُ
“jika sebab atau ghurur berkumpul bersama dengan mubasyarah, maka mubasyarahlah yang di dahulukan.”[8]
Contoh :
a.       Umar membeli pedang dari zaed kemudian pedang tersebut digunakan umar untuk menusuk seseorang, maka yang terkena pidana adalah umar, meskipun yang menjadi sebab umar dapat menusuk seseorang adalah zaed.
b.      Narto   : hai  Wahyu, apakah mobil ini remnya bagus?
Wahyu : iya, keadaan remnya bagus
Setelah dipakai Narto mobil itu nabrak karena remnya blong, maka yang dituntut tetap Narto walaupun yang membujuk dan menipu adalah Wahyu, sebab yang mengendarai mobil tersebut adalah narto.






                 

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Kaidah ke 31
النفل اوسع من الفرض
“Sunnah lebih longgar dari pada fardhu”

2.      Kaidah ke 32
الو لا ية الخا صة اقوى من الولا يةالعا مة
“wilayah yang khusus lebih kuat dari pada wilayah yang umum”

3.      Kaidah ke 33
لاعبرة باالظن البين خطؤه
“tidak dianggap sebagai dzan yang jelas salahnya”
4.      Kaidah ke 34
الا شتغال بغيرالمقصود اعراض عن المقصود
“Berbuat yang tidak dituju sama artinya berpaling dari tujuan”

5.      Kaidah ke 35
لاينكرالمختلف فيه رانما ينكر المجمع عليه
“persoalan yang masih diperselisihkan tidak diingkari, sedangkan perkara yang mujmak alaihi (disepakati keharamannya) harus diingkari”

6.      Kaidah ke 36
يدخل القوي على الضعيف ولاعكس
“yang kuat bisa saja masuk ke dloif (lemah) bukan sebaliknya”

7.      Kaidah ke 37
يُغْتَفَرُ فِى الْوَسَائِلِ مَالاَيُغْتَفَرُ فىِ الْمَقَاصِدِ
“suatu perkara ketika menjadi tujuan tidak diampuni namun ketika menjadi wasail (perantara) bisa diampuni.”

8.      Kaidah ke 38
اَلْمَيْسُوْرُ لاَيَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
“Yang mudah tidak bisa gugur karena yang sulit”
9.      Kaidah ke 39
مَالاَيَقْبَلُ التَبْعِيْضَ فَاخْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِهِ وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِسْقَاطِ كُلِهِ
“sesuatu yang tidak bisa dibagi bagi, maka memilih sebagian, sama artinya memilih keseluruhan. Menggugurkan sebagian sama artinya menggugurkan keseluruhan”

10.  Kaidah ke 40
إِذَااجْتَمَعَ السَبَبُ أَوِالْغُرُوْرُ وَالْمُبَاشَرَةُ قُدِمَتِ الْمُبَاشَرَةُ
“jika sebab atau ghurur berkumpul bersama dengan mubasyarah, maka mubasyarahlah yang di dahulukan.”



















DAFTAR PUSTAKA
Drs. Yasin, M.Ag. buku daros Qowaid Fiqhiyah, STAIN Kudus, (Kudus; DIPA tahun Anggaran 2009)
https://kangim999.wordpress.com/2012/04/05/makalah-qawaid-fiqhiyyah/


[2] Drs. Yasin, M.Ag. buku daros Qowaid Fiqhiyah, STAIN Kudus, DIPA tahun Anggaran 2009, hal 131
[3] Ibid, hal 132
[4] Ibid, hal 133
[5] Ibid, hal 134
[6] ibid
[7] Ibid, hal 135
[8] Ibid hal 136