PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat
umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa
kelompok, juga merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu
masalah, yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah
satu kaidah.
Berhubung
hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang
menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan
sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi
tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman
berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya, adalah
perlu sekali.[1]
Maka dari itu, disini akan dibahas beberapa
kaidah fiqhiyyah. Mulai dari kaidah ke-31 sampai kaidah ke-40.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana kaidah ke 31 - 40 yang disepakati
itu?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Kaidah
ke 31
النفل اوسع من الفرض
“Sunnah lebih longgar dari
pada fardhu”[2]
Atas
dasar itulah :
1. Seorang
yang telah berijtihad menemukan kiblat untuk sembahyang wajib, tidak perlu
berijihad kembali jika hendak bersembahyang sunnah.
2. Seorang
bertayamum untuk menjalankan shalat wajib, tidak perlu lagi bertayamum untuk
menjalankan salat sunnat rawatib berikutnya.
3. Tidak
wajib bagi orang yang berpuasa sunnat, niat di malam hari sebelumnya.
2.
Kaidah
ke 32
الو لا ية الخا صة اقوى من الولا يةالعا مة
“wilayah
yang khusus lebih kuat dari pada wilayah yang umum”
Sesuai
dengan kaidah ini, maka :
1. Seorang
wali hakim tidak boleh mengawinkan seorang wanita yang masih mempunyai wali
2. Seorang
wali dapat menuntut qishash atau diyat atau memberikan pengampunan sama sekali
terhadap orang yang melakukan tindak makar pembunuhan terhadap orang yang
berada dibawah perwaliannya, tetapi wali hakim yang statusnya sebagai wali umum
tidak dapat menuntut hak-hak tersebut.
3. Jika
seorang wanita dikawinkan dengan seorang laki-laki dengan menggunakan wali
hakim, disebabkan wali yang sebenarnya mafqud (bepergian tidak diketahui
domisilinya) kemudian wali yang mafqud tersebut dengan secara perwakilan
mengawinkan seorang wanita yang berada di bawah perwaliannya dengan orang
laki-laki lain lagi. Dan wali tersebut diwaktu pulang dapat menunjukkan bukti
buktinya, maka yang harus dibenarkan adalah perkawinan yang dilakukan oleh wali
yang sebenarnya.
3.
Kaidah
ke 33
لاعبرة باالظن البين خطؤه
“tidak dianggap sebagai dzan yang jelas salahnya”[3]
Misalnya
:
1.
Jika
seseorang mengira dirinya suci dari hadats, kemudian ia terus shalat, tetapi
dugaannya tadi salah (ia sebenarnya sudah berhadats) maka shalat tersebut tidak
sah.
2.
Seorang
melakukan shalat dan mengira sudah masuk waktu shalat tersebut, tetapi ternyata
praduganya tadi salah (ternyata belum waktunya) maka shalatnya batal.
3.
Seseorang
menyangka bahwa dirinya mempunyai hutang kepada seseorang, karenanya dibayarlah
hutang itu. Tetapi ternyata bahwa sudah tidak mempunyai hutang, maka ia berhak
menerima kembali uang yang pernah dibayarkannya.
4.
Kaidah
ke 34
الا شتغال بغيرالمقصود اعراض عن المقصود
“Berbuat
yang tidak dituju sama artinya berpaling dari tujuan”[4]
Jika ada
orang yang bersumpah tidak akan tinggal di rumah itu dan berdiam di sana, namun
orang tersebut masih mondar mandir dirumah tersebut, maka orang tersebut
dihukumi melanggar sumpah.
5.
Kaidah
ke 35
لاينكرالمختلف فيه رانما ينكر المجمع عليه
“persoalan
yang masih diperselisihkan tidak diingkari, sedangkan perkara yang mujmak
alaihi (disepakati keharamannya) harus diingkari”
Jadi
jika ada perkara yang sudah mujmak alaihi (disepakati keharamannya) maka kita
wajib mengingkari dalam hati.
Contoh :
Meminum
minuman keras, zina dan lain-lain namun masih ada sejumlah masalah yang
dikecualikan (masih dalam perselisihan tapi harus diingkari)
a. Mayoritas
ulama’ sudah sepakat dalam memutuskan hukum sesuatu. Namun ada sebagian ulama
lagi yang berbeda pendapat, perbedaan pendapat tersebut terhitung jauh,
sehingga seandainya qaul mukhtalaf tadi digunakan, oleh hakim untuk memutuskan masalah
maka keputusan yang diambil oleh hakim boleh digugurkan. Seperti menggadaikan
anak untuk dikumpuli hukumnya tetap haram. Dan orang yang menggadaikan bisa
terkena had meskipun imam atha’ mengatakan boleh perempuan jariyah (budak
perempuan) digadaikan untuk diwati.
b. Masalah
yang sudah berada di pengadilan sudah pasti putusannya diserahkan kepada hakim
menurut keyakinananya. Namun tidak boleh menyimpang dari keyakinan hakim itu
sendiri. Jadi seandainya hakim dari golongan Syafi’i sementara yang diadili
dari golongan Hanafi tentang minum nabits (anggur kering) maka hakim Syafi’i
harus memberi hukuman kepada orang Hanafiyah yang minum nabits meskipun imam
hanafi membolehkan minum nabits.
c. Masalah
yang mukhtalaf dan munkar itu masih mempunyai hak.
6.
Kaidah
ke 36
يدخل القوي على الضعيف ولاعكس
“yang
kuat bisa saja masuk ke dloif (lemah) bukan sebaliknya”[5]
Contoh:
Hukum
Rasyid menyetubuhi Fatimah boleh karena amat (budak perempuan). Kemudian Rasyid
menikah dengan saudara perempuan Fatimah, maka hukum Fatimah terhadap Rasyid
menjadi haram disetubuhi. Karena hubungan Rasyid dengan saudaranya lebih kuat
jadi Rasyid haram bersetubuh denga fatimah (amat).
Ada
beberapa masalah yang dikecualikan dari kaidah ini yaitu seandainya Khalid
sudah niat puasa sunah kemudian ditengah tengah hari Khalid niat puasa fardlu
(qadla) maka hukumnya tidak sah meskipun puasa fardlu lebih kuat dari puasa
sunah.
7.
Kaidah
ke 37
يُغْتَفَرُ فِى الْوَسَائِلِ مَالاَيُغْتَفَرُ
فىِ الْمَقَاصِدِ
“suatu
perkara ketika menjadi tujuan tidak diampuni namun ketika menjadi wasail (perantara)
bisa diampuni.”[6]
Contoh :
Melukai diri sendiri it tidak boleh, namun bila
melukai diri sendiri sebagai lantaran berobat seperti suntik dan operasi maka
hukumnya boleh.
8.
Kaidah
ke 38
اَلْمَيْسُوْرُ لاَيَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
“Yang
mudah tidak bisa gugur karena yang sulit”[7]
Contoh :
a. Orang
yang mempunyai satu tangan hanya wajib membasuh satu tangannya saja saat
melakukan wudhu.
b. Seseorang
yang mempunyai hutang Rp. 1.000,00 dan ia berjanji akan membayar pada tanngal 1
november, namun pada tanggal 1 november ia hanya mempunyai uang Rp. 500,00 maka
uang Rp 500,00 tersebutlah yang wajib dibayarkan, bukan malah tidak dibayarkan
sama sekali.
9.
Kaidah
ke 39
مَالاَيَقْبَلُ التَبْعِيْضَ فَاخْتِيَارُ
بَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِهِ وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِسْقَاطِ كُلِهِ
“sesuatu
yang tidak bisa dibagi bagi, maka memilih sebagian, sama artinya memilih
keseluruhan. Menggugurkan sebagian sama artinya menggugurkan keseluruhan”
Contoh :
Saya
mentalaq kamu separuh, maka talaq ini jatuh talaq satu karena talaq itu tidak
bisa dibagi.
10. Kaidah ke 40
إِذَااجْتَمَعَ
السَبَبُ أَوِالْغُرُوْرُ وَالْمُبَاشَرَةُ قُدِمَتِ الْمُبَاشَرَةُ
“jika
sebab atau ghurur berkumpul bersama dengan mubasyarah, maka mubasyarahlah yang
di dahulukan.”[8]
Contoh :
a. Umar
membeli pedang dari zaed kemudian pedang tersebut digunakan umar untuk menusuk
seseorang, maka yang terkena pidana adalah umar, meskipun yang menjadi sebab
umar dapat menusuk seseorang adalah zaed.
b. Narto : hai
Wahyu, apakah mobil ini remnya bagus?
Wahyu : iya, keadaan remnya bagus
Setelah dipakai Narto mobil itu nabrak karena
remnya blong, maka yang dituntut tetap Narto walaupun yang membujuk dan menipu
adalah Wahyu, sebab yang mengendarai mobil tersebut adalah narto.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kaidah
ke 31
النفل اوسع من الفرض
“Sunnah lebih longgar dari
pada fardhu”
2. Kaidah
ke 32
الو لا ية الخا صة اقوى من الولا يةالعا مة
“wilayah
yang khusus lebih kuat dari pada wilayah yang umum”
3. Kaidah
ke 33
لاعبرة باالظن البين خطؤه
“tidak dianggap sebagai dzan yang jelas salahnya”
4. Kaidah
ke 34
الا شتغال بغيرالمقصود اعراض عن المقصود
“Berbuat
yang tidak dituju sama artinya berpaling dari tujuan”
5. Kaidah
ke 35
لاينكرالمختلف فيه رانما ينكر المجمع عليه
“persoalan
yang masih diperselisihkan tidak diingkari, sedangkan perkara yang mujmak
alaihi (disepakati keharamannya) harus diingkari”
6. Kaidah
ke 36
يدخل القوي على الضعيف ولاعكس
“yang
kuat bisa saja masuk ke dloif (lemah) bukan sebaliknya”
7. Kaidah
ke 37
يُغْتَفَرُ فِى الْوَسَائِلِ مَالاَيُغْتَفَرُ
فىِ الْمَقَاصِدِ
“suatu perkara
ketika menjadi tujuan tidak diampuni namun ketika menjadi wasail (perantara)
bisa diampuni.”
8. Kaidah
ke 38
اَلْمَيْسُوْرُ لاَيَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
“Yang
mudah tidak bisa gugur karena yang sulit”
9. Kaidah
ke 39
مَالاَيَقْبَلُ التَبْعِيْضَ فَاخْتِيَارُ
بَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِهِ وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِسْقَاطِ كُلِهِ
“sesuatu
yang tidak bisa dibagi bagi, maka memilih sebagian, sama artinya memilih
keseluruhan. Menggugurkan sebagian sama artinya menggugurkan keseluruhan”
10. Kaidah
ke 40
إِذَااجْتَمَعَ
السَبَبُ أَوِالْغُرُوْرُ وَالْمُبَاشَرَةُ قُدِمَتِ الْمُبَاشَرَةُ
“jika
sebab atau ghurur berkumpul bersama dengan mubasyarah, maka mubasyarahlah yang
di dahulukan.”
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Yasin, M.Ag. buku daros Qowaid Fiqhiyah, STAIN Kudus, (Kudus;
DIPA tahun Anggaran 2009)
https://kangim999.wordpress.com/2012/04/05/makalah-qawaid-fiqhiyyah/